Sorong Papua Barat Daya, Suarakpkcyber.com - PT Pertamina Marine Engineering Dockyard Sorong atau yang dikenal dengan nama Dokarim, terhitung hampir setahun sudah, tidak beroperasi melayani perbaikan kapal. Kabar tentang adanya ancaman pemalangan oleh pemilik ulayat, hingga manajer perusahaan yang diduga "kabur" disebut-sebut menjadi akar persoalan hingga perusahaan tersebut tidak beroperasi untuk sementara waktu.
Dalam rangka mengecek kebenaran informasi tersebut, awak media ini telah mendatangi langsung lokasi perusahaan di Pulau Dokarim. Terpantau aktivitas para pekerja di lokasi sekilas tampak masih normal tak ada kejanggalan. Seperti biasanya pagi-pagi sekitar pukul 07.30 WIT para karyawan dan staf menyeberang menggunakan kapal milik perusahaan dari Sorong ke Dokarim, Senin (11/08/2025).
Sesampainya di lokasi perusahaan, para karyawan melakukan absensi dilanjutkan breafing, lalu mereka bergerak menuju ke unit kerja masing-masing. Disinilah mulai terlihat para pekerja ini ternyata hanya hadir setiap saat di lokasi, namun mereka tidak bekerja seperti sebelum-sebelumnya. Tak ada kapal digalangan yang hendak diperbaiki.
Terpantau sebagian dari para karyawan hanya duduk-duduk dan menghabiskan waktu bercengkerama bersama rekan-rekannya yang lain. Ini berlangsung hingga sore hari, saat jam kerja usai, mereka pun diseberangkan lagi menggunakan kapal untuk kembali ke rumah masing-masing di Kota Sorong.
Salah seorang karyawan saat berbincang dengan awak media mengaku kondisi ini sudah berlangsung hampir setahun sejak September 2024 lalu. Mereka sama sekali tidak bekerja karena tidak ada kapal yang masuk docking. Namun karyawan tersebut mengaku tidak tahu pasti alasan sehingga sampai saat ini tidak ada kapal yang masuk ke galangan.
Padahal, sebelum-sebelumnya kapal yang masuk tidak pernah berhenti, baik kapal milik Pertamina sendiri maupun kapal dari luar. Namun, ia menyebut meski karyawan tidak bekerja, namun perusahaan tetap memenuhi hak-hak mereka seutuhnya yakni gaji pokok sesuai ketentuan.
"Sudah dari tahun lalu itu tidak ada kapal yang masuk, jadi kami tidak bekerja. Palingan hanya bersih-bersih peralatan dan rumput-rumput di lokasi saja. Tapi gaji kami tetap jalan seperti biasa," ujarnya.
Awak media kemudian mencoba menemui pihak penanggungjawab di lokasi perusahaan, dalam hal ini manajer. Namun, ternyata benar, sang manajer tidak berada di tempat, awak media pun hanya diterima oleh penanggungjawab sementara dalam hal ini Bisnis Support Dockyard Sorong, Muchlis.
Dari pengakuan Muchlis diketahui ternyata manajer perusahaan sudah tidak berada di tempat, sejak tahun lalu atau tepatnya bebeberapa bulan pasca perusahaan tidak lagi beroperasi. Muchlis enggan menyimpulkan bahwa sang manajer "kabur". Ia hanya menyebut pimpinanya mendapat tugas menyelesaikan sejumlah pekerjaan di Jakarta.
Muchlis mengaku, meski sang manajer yang diketahui bernama Seriono itu tidak berada di tempat, namun aktivitas perusahaan termasuk surat menyurat hingga pemenuhan hak-hak karyawan dan operasional perusahaan masih tetap berjalan, karena saat ini perusahaan lebih banyak via aplikasi dalam urusan administrasi, sehingga hanya menggunakan tandatangan digital.
Dicecar terkait aktivitas perusahaan, Muchlis membenarkan, jika perusahaan sudah tidak beraktivitas dalam hal kegiatan docking terhitung sejak September 2024 lalu. Semua berawal saat pihaknya menerima surat masuk dari Marga Kalami yang menuntut kompensasi pembayaran ganti rugi lahan sebesar Rp 5 milyar kepada pihak perusahaan. Ia pun membenarkan dalam surat tersebut disertai ancaman pemalangan, jika perusahaan tidak mengindahkan permintaan ganti rugi tersebut.
Sebagaimana lazimnya, surat itupun diteruskan ke pimpinan pusat di Jakarta. Namun oleh pimpinan pusat direspon dengan menutup layanan docking kapal di Dokyard Sorong. Informasi terakhir telah dibentuk tim khusus (internal dan eksternal Pertamina) untuk melakukan investigasi dan penilaian terkait persoalan yang dihadapi Dockyard Sorong. Namun, sudah hampir setahun, belum ada hasil yang disampaikan dan perusahaan masih tetap tidak beraktivitas.
"Jadi sejak Bulan September itu, sudah tidak ada lagi aktivitas docking disini. Tapi hak-hak karyawan tetap terpenuhi seperti biasanya, hanya saja memang mereka tidak bisa dapat tambahan seperti uang lembur dan sebagainya. Sampai saat ini kami pun masih menunggu keputusan dari Jakarta," ujar Muchlis.
Terkait kebijakan yang bisa diambil manajemen Dockyard Sorong, secara jujur Muchlis mengaku pihaknya terbatas dengan ruang birokrasi manajemen perusahaan yang kesemuanya ditentukan oleh pusat. Bahkan, persoalan BBM hingga kapal-kapal yang hendak naik dock pun ijinnya ditentukan pusat. Sehingga sejauh ini pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Jujur memang kami ingin ada kejelasan. Minimal ada win-win solution sehingga semua pihak, khususnya para karyawan bisa menerima. Karena kasihan juga mereka setiap hari datang ke lokasi tapi tidak bekerja," ungkapnya sembari menyebut dari sisi tenaga kerja hingga fasilitas Dockyard Sorong masih sangat layak untuk melayani kegiatan docking seperti sebelumnya.
Sementara salah seorang karyawan senior di Dockyard Sorong Yudha Kumbado yang sempat diwawancarai awak media menyebut, persoalan hak ulayat sebagaimana surat masuk yang dijadikan alasan pusat menghentikan aktivitas docking di Sorong sebenarnya sudah pernah dibicarakan dalam pertemuan yang dimediasi oleh Pemkot Sorong pada tahun 2011 lalu. Kala itu, sebut dia, ada sekitar 5 marga yang mengklaim diri sebagai pemilik ulayat lokasi Dokarim, sehingga pihak perusahaan kebingungan untuk melakukan pembayaran.
Dalam pertemuan di tahun 2011 itu, hadir pihak manajemen perusahaan, kelima marga dan perwakilan Pemkot Sorong sebagai mediator. Hasilnya, disepakati kelima marga ini diberi kesempatan untuk berembuk dan menentukan satu marga saja yang berhak mendapatkan kompensasi ganti rugi lahan sebagai pemilik ulayat. Namun, sejak saat itu sampai sekarang, kelima marga sama sekali tidak ada kesepakatan, sehingga selalu saja ada surat masuk ke perusahaan dengan marga berbeda-beda untuk meminta ganti rugi lahan tersebut.
"Jadi memang perusahaan dilema mau bayar ke siapa. Apalagi kemaren terakhir ada surat masuk dari marga Kalami yang disertai ancaman pemalangan, perusahaan langsung ambil keputusan hentikan kegiatan docking. Kami tidak minta banyak, kami hanya ingin perusahaan ini aktif kembali, kegiatan docking berjalan supaya teman-teman ini bisa bekerja, kasihan pendapatan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," harap Kombado.
Sementara Perwakilan Serikat KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), Jeffrey Mampioper yang juga merupakan karyawan Dockyard Sorong, meminta perhatian serius pemerintah daerah bersama stakeholder untuk melihat persoalan yang dialami pihaknya di Dockyard Sorong. Pasalnya selain sklil dan kemampuan karyawan yang kini terabaikan, persoalan tersebut juga menyangkut nasib anak-anak Papua yang bekerja di perusahaan BUMN.
Jeffrey menyebut, sebagian besar karyawan di Dockyard Sorong adalah anak-anak asli Papua yang memiliki kemampuan dan skill luar biasa. Saat ini, mereka tidak hanya tidak bisa menyalurkan talentanya, tetapi nasib dan masa depan mereka juga sedang menjadi taruhan. Pihaknya, hanya menginginkan semua persoalan ini diselesaikan dengan baik sehingga mereka dapat bekerja seperti biasa demi menghidupi keluarga dan orang-orang terdekat.
"Kami minta tolong buat pemerintah daerah, bapak gubernur, walikota, DPR dan semua stakeholder yang ada bantu kami selesaikan persoalan ini. Kalau ada masalah mari kita duduk selesaikan secara kekeluargaan supaya kami bisa bekerja kembali seperti biasa," ungkapnya.
Persoalan yang terjadi di Dockyard Sorong memang masih menyisakan banyak misteri. Perlu adanya intervensi dari pemerintah daerah hingga pusat bahkan aparat penegak hukum, untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Dockyard Sorong merupakan perusahaan BUMN yang didalamnya terdapat aliran uang rakyat. Uang yang harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan kepada masyarakat. (Dedi)
Post A Comment:
0 comments: